HMI ANTARA KEKUASAAN INTELEKTUAL ATAU DEGRADASI INTEGRITAS
Oleh: Rizky Nanda Pratama
Sebelum kita melangkah lebih jauh dalam pembahasan ini, ada baiknya kita menilik kembali sejarah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Apa sebenarnya HMI? Mengapa organisasi ini didirikan, dan apa alasan keberadaannya masih dipertahankan hingga kini? Memahami sejarah dan tujuan HMI sangat penting agar setiap kader dapat menyerap pesan yang terkandung di dalamnya. Tanpa pemahaman yang utuh, ada risiko bahwa kader tidak akan terlibat aktif dalam perjuangan untuk mewujudkan misi HMI. Dampaknya bisa beragam: misi yang berbunyi “terbinanya insan akademik, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala” dapat dianggap sebagai sekadar susunan kata tanpa makna, bahkan dapat dianggap sepele sehingga tidak layak untuk diperjuangkan. Oleh karena itu, memahami HMI secara menyeluruh, termasuk motivasi di balik pendiriannya dan mengapa ia dilestarikan hingga saat ini, sangat esensial. Pemahaman ini akan berperan penting dalam menentukan arah HMI ke depan, baik dalam loyalitas dan militansi kader, pencapaian misi, serta kualitas dan kuantitas manfaat yang dapat diberikan kepada umat dan bangsa.
HMI, yang didirikan di Yogyakarta pada 14 Rabi’ul Awwal 1366 H atau 5 Februari 1947 M, lahir pada saat Indonesia baru merdeka dan masih berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya. Suasana tersebut melahirkan kegelisahan di benak AyahandaLafran Pane dan rekan-rekannya yang melihat kondisi bangsa, khususnya umat Islam, yang sangat tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Keinginan untuk mengubah keadaan inilah yang mendorong Lafran Pane dan kawan-kawannya untuk mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai upaya memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Kini, frasa "kader umat dan kader bangsa" semakin viral di media sosial dan diakui sebagai identitas HMI. Penggunaan frasa ini menunjukkan kebanggaan para kader dalam mengaku sebagai bagian dari umat dan bangsa. Hal ini menegaskan kembali bahwa HMI tidak pernah memisahkan antara keislaman dan kebangsaan, melainkan mengintegrasikannya dengan harmonis.
Dalam konteks saat ini, apa yang dapat HMI tawarkan untuk menjawab berbagai tantangan umat dan bangsa? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita perhatikan kondisi HMI saat ini. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa sebuah organisasi hanya dapat memberikan manfaat yang maksimal jika ia berjalan dengan baik. Ini termasuk pemahaman mendalam tentang misi yang diemban, penghayatan yang tulus, komitmen terhadap perjuangan, serta tersedianya sumber daya yang memadai baik sumber daya manusia, finansial, maupun waktu untuk menggerakkan organisasi secara efektif. Permasalahan yang kita hadapi saat ini tidaklah sederhana seperti paku yang terbenam di kayu. Ketika paku itu dicabut, masalah pun selesai. Namun, isu yang kita hadapi sekarang lebih mirip dengan mengurai benang kusut di tengah lumpur, yang membutuhkan kehati-hatian, persiapan matang, dan waktu yang cukup. Oleh karena itu, hasil dari proses kaderisasi hari ini akan sangat menentukan. Generasi saat ini pasti akan mengalami pergantian, generasi tua akan digantikan oleh generasi muda. Dalam konteks Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), hal ini bermakna bahwa untuk menjadi pemecah masalah bagi berbagai tantangan umat dan bangsa, para kader HMI perlu memiliki pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang isu-isu tersebut. Kurangnya forum intelektual yang masif dan optimal, ketidakmampuan komisariat dalam menampung harapan dan hasrat kader, serta rendahnya minat kader untuk melanjutkan training, ditambah kecenderungan fungsionaris terjebak dalam isu-isu jangka pendek, berkontribusi pada kurang optimalnya proses kaderisasi dan berjalannya roda organisasi itu sendiri. Kita hampir lupa bahwa HMI adalah organisasi yang bertujuan untuk mempersiapkan kader-kader berkualitas, yang siap memimpin umat dan bangsa di masa depan. Adanya distorsi dalam tujuan ini menjadikan kita semakin mirip dengan para politisi. Dengan demikian, jelaslah bahwa ketika kita membahas kaderisasi HMI, kita akan berhadapan dengan masalah-masalah yang kompleks. HMI perlu membangun kembali budaya intelektualnya dengan menyusun model yang adaptif sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu fenomena yang mendasar di balik menurunnya budaya intelektual di HMI adalah orientasi politik kekuasaan, yang membawa organisasi ini ke dalam pusaran politik praktis dan isu-isu kekuasaan, sehingga membuat kader-kader lebih cenderung bersikap pragmatis.
Fenomena semacam ini bukan lagi rahasia bagi kita sebagai kader HMI, banyak senior yang terjebak dalam lingkaran yang merusak, bahkan hingga memicu perpecahan dalam internal HMI. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi HMI untuk bangkit di tengah gejolak yang melanda bangsa ini. Organisasi ini perlu memperkuat proses kaderisasi yang lebih berorientasi pada gerakan intelektualitas, sehingga kader dapat berpikir dalam konteks perubahan sosial-politik yang terjadi di masyarakat. Tentu saja, uraian yang telah saya sampaikan masih jauh dari kata komprehensif dalam merepresentasikan kondisi HMI beserta beragam masalah yang dihadapinya saat ini. Namun, seperti yang telah saya tegaskan, isu penurunan tanggung jawab kader HMI seharusnya membuka mata dan pikiran kita semua. Kualitas kader serta penurunan kuantitas kader yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir sangat perlu mendapat perhatian dan solusi bersama. Sudah saatnya kita berbicara tanpa terjebak dalam ego masing-masing. Jika tidak, dalam beberapa tahun ke depan, HMI bisa semakin redup, bersamaan dengan menurunnya kekuasaan intelektual yang patut kita khawatirkan.
Dengan ikhtiar dan doa, kita yakin usaha tidak akan sia-sia. Semoga HMI tetap eksis, memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Semoga dari HMI lahir cendekiawan Muslim sejati yang dapat membawa Indonesia menuju kemajuan dan kesejahteraan di masa depan
Komentar
Posting Komentar