Teropong Kader HMI: Mengurai Benang Kusut Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Teropong Kader HMI: Mengurai Benang Kusut Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Oleh : Ajeng Febrian Surbakti
Sebagai mahasiswa itu sendiri, kampus adalah rumah kedua kita, tempat kita menimba ilmu dan membentuk mimpi-mimpi yang lama kita bangun. Namun, bayang-bayang kekerasan seksual yang mencuat di UINSU baru-baru ini merobek rasa aman yang seharusnya kita rasakan. Sebagai kader (Himpunan Mahasiswa Islam) HMI, sepatutnya kita tidak bisa tinggal diam. Dalam tulisan ini saya, Ajeng Febrian Surbakti ingin mengulas sedikit lewat teropong kader HMI. Perlu diketahui benang kusut permasalahan ini merupakan tanggung jawab moral kita bersama, bukan hanya sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari gerakan mahasiswa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Dari sudut pandang mahasiswa, salah satu akar masalah yang paling terasa adalah kurangnya ruang aman dan mekanisme pelaporan yang efektif. Diketahui teman-teman korban seringkali merasa sendirian dan takut untuk berbicara karena stigma dan ketidakpercayaan pada sistem yang ada. Kita butuh lebih dari sekadar imbauan; kita butuh infrastruktur dukungan yang jelas, mudah diakses, dan menjamin kerahasiaan serta keamanan pelapor.
Sebagai kader (Himpunan Mahasiswa Islam) HMI, kita melihat pentingnya internalisasi nilai- nilai Islam yang rahmatan lil alamin dalam kehidupan kampus. Konsep ukhuwah islamiyah seharusnya melandasi interaksi kita, di mana rasa saling menghormati, menjaga kehormatan, dan menjauhi segala bentuk tindakan yang merugikan orang lain menjadi landasan utama. Kekerasan seksual adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai ini.
Jadi bagaimana ketika kita dihadapkan pada situasi yang sangat memprihatinkan dimana pelaku kekerasan seksual itu justru dilakukan oleh sosok yang seharusnya menjadi pendidik dan pembimbing, yaitu dosen. Bukan sekali dua kali adanya kasus pelecehan oleh dosen yang dimana ini bukan hanya melukai korban secara individual, tetapi juga menciderai marwah institusi pendidikan dan kepercayaan mahasiswa. Dalam menghadapi situasi ini, kita sebagai kader HMI memiliki tanggung jawab penuh terhadap moral dan etika yang besar untuk bertindak secara tepat dan efektif.
Langkah pertama yang mendasar adalah mempercayai dan mendukung korban sepenuhnya. Korban pelecehan seringkali mengalami trauma mendalam, rasa malu, dan ketakutan untuk berbicara. Sebagai sesama mahasiswa, kita harus menciptakan ruang aman di mana korban merasa didengar, diyakinkan, dan tidak dihakimi. Mendengarkan dengan empati dan menunjukkan solidaritas adalah kunci awal dalam proses pemulihan korban.
Tak hanya itu kita sebagai kader HMI memiliki peran penting dalam memfasilitasi korban untuk mendapatkan akses ke mekanisme pelaporan yang ada. Banyak korban tidak mengetahui prosedur yang benar atau merasa takut untuk melapor secara formal. Kita dapat membantu memberikan informasi mengenai langkah-langkah pelaporan, mendampingi korban saat melapor (jika korban menghendaki), dan memastikan korban mendapatkan perlindungan selama proses tindak lanjut berjalan.
Perspektif HMI yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam menuntut kita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Kekerasan seksual adalah tindakan yang haram dan melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebagai kader HMI, kita harus berani menyuarakan kebenaran dan mengkritisi segala bentuk impunitas terhadap pelaku, tanpa terpengaruh oleh relasi kuasa atau kepentingan pribadi. Dalam hal ini kita perlu juga mendorong pihak kampus untuk mengambil tindakan tegas dan transparan. Kita dapat melakukan audiensi dengan pihak rektorat, menyampaikan tuntutan mahasiswa terkait penanganan kasus kekerasan seksual, dan mengawasi proses investigasi serta penjatuhan sanksi kepada pelaku. Transparansi dan akuntabilitas pihak kampus sangat penting untuk memulihkan kepercayaan mahasiswa.
Dalam mengatasi kasus pelecehan yang dilakukan oleh aparat kampus seperti dosen, kader HMI perlu membangun kesadaran akan relasi kuasa yang tidak sehat. Dikarenakan dosen memiliki posisi yang lebih tinggi daripada mahasiswa, dan relasi ini rentan disalahgunakan. Kita perlu mendorong terciptanya relasi yang profesional, egaliter, dan saling menghormati di lingkungan akademik. Sebagai mahasiswa, sebenarnya kita memiliki kekuatan untuk menciptakan budaya kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Kita sebagai kader HMI dapat menjadi pelopor dalam membangun budaya saling menjaga, berani menegur tindakan yang tidak pantas, dan mendukung korban untuk berani berbicara. Perubahan budaya dimulai dari tindakan-tindakan kecil di lingkungan sekitar kita.
Mengatasi kasus pelecehan yang dilakukan oleh dosen adalah perjuangan yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan solidaritas. Sebagai kader HMI, kita memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya mengadvokasi korban, tetapi juga untuk menjadi bagian dari solusi jangka panjang dalam menciptakan lingkungan kampus yang berkeadilan dan melindungi seluruh civitas akademika dari segala bentuk kekerasan seksual. Maka dari itu, dengan berpegang pada nilai-nilai Islam dan semangat persaudaraan, kita dapat menjadi agen perubahan yang membawa dampak positif.
Dengan ikhtiar dan doa, kita yakin usaha tidak akan sia-sia.
Yakin Usaha Sampai
Komentar
Posting Komentar